Apa itu roti buaya? Bagaimana sejarah roti buaya di Jakarta. Simak artikel wisata Jakarta tentang [permalink]Roti Buaya Wujud Kesetiaan yang Tetap Terjaga[/permalink] ini untuk mendapatkan jawaban tersebut.
Roti Buaya Wujud Kesetiaan Pengantin Betawi
Roti buaya merupakan sajian berbahan utama tepung yang merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat Betawi. Makanan (roti) berbentuk reptil ini biasa orang bawa ketika melakukan seserahan ke rumah calon pengantin wanita.
Keberadaan roti buaya ini menjadi hal wajib yang tidak bisa ditanggalkan dalam prosesi seserahan. Sebab kaya makna serta memiliki doa untuk mereka yang akan melangsungkan pernikahan.
Masyarakat Betawi yang umumnya menetap di Jakarta memiliki kebiasaan dalam acara lamaran. Atau biasanya dalam rangka memberikan seserahan kepada mempelai perempuan.
Dari sejumlah barang yang pihak pengantin laki-laki serahkan tersebut, roti buaya menempati posisi terpenting. Roti ini biasanya memiliki panjang sekitar 50 sampai 100 sentimeter ini.
Dan bisa orang bilang wajib hukumnya untuk mempelai pengantin laki-laki bawa. Sebab, roti ini memiliki makna tersendiri bagi warga Betawi, yakni sebagai ungkapan kesetiaan pasangan yang menikah untuk sehidup-semati.
Sejarah Roti Buaya di Betawi
Asal muasal adanya roti buaya ini, konon terinspirasi perilaku buaya yang hanya kawin sekali sepanjang hidupnya. Buaya adalah hewan yang setia dan juga panjang umur.
Filosofi ini menjadikan latar belakang mereka membawakan roti buaya kepada calon pasangan. Dengan harapan akan membawa nasib baik terutama panjang umur dan sekaligus melambangkan kesetiaan.
Buaya merupakan hewan yang kuat dan selalu berjuang untuk bertahan hidup. Hal ini menjadi harapan masyarakat Betawi agar mereka mampu bertahan hidup di mana pun berada.
Menurut keyakinan masyarakat Betawi, roti juga menjadi simbol kemampuan ekonomi. Selain bisa saling setia, pasangan yang menikah juga memiliki masa depan yang lebih baik dan bisa hidup mapan. Masyarakat Betawi meyakini secara turun temurun meyakini akan budaya tersebut.
Mempelai laki-laki akan membawakan sepasang roti buaya berukuran besar dan satu roti buaya berukuran kecil. Di mana roti buaya kecil akan diletakkan di atas roti buaya yang disimbolkan sebagai buaya perempuan. Selain 100 sentimeter, biasanya masyarakat Betawi juga akan membawa roti buaya berukuran 50 sentimeter dan 20 sentimeter.
Perpaduan beberapa ukuran ini, melambangkan akan kesetian mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan sampai beranak-cucu. Tradisi ini masih berlangsung sampai sekarang. Meski saat ini banyak warga Betawi yang merayakan pernikahan secara modern, tapi mereka masih memakai roti buaya sebagai simbol kesetiaan.
Perbedaan Pernikahan adat Betawi Dulu dan Sekarang
Menurut J.J. Rizal, ahli sejarah yang berdarah Betawi, pernikahan adat Betawi dulu dan sekarang jauh berbeda. Dulu, roti buaya sengaja orang buat sekeras mungkin, semakin keras roti, maka semakin baik kualitas roti tersebut. Tujuan sebenarnya dari pembuatan roti buaya ini bukan untuk dimakan.
Roti buaya akan dipajang di tengah-tengah ruangan hingga acara pernikahan selesai. Setelah itu, roti tersebut akan ditaruh di atas lemari pakaian di kamar pengantin. Roti buaya yang keras dan tidak punya rasa, menjadikannya tahan lama. Kualitas roti buaya yang tahan lama dilihat dari keras tidaknya roti.
Roti buaya akan mereka biarkan hingga hancur dan berbelatung di atas lemari. Ini yang menjadi roti buaya wujud kesetiaan. Atau perlambang bahwa dua roti buaya simbol suami istri tersebut hanya maut yang bisa memisahkan, oleh raga yang sudah berbelatung. Zaman sekarang filosofi seperti ini sudah mulai orang tinggalkan.
Ketika memesan roti buaya, yang membuat akan menanyakan akan isi roti. Tidak hanya isian, roti buaya zaman sekarang teksturnya jauh lebih lembut, plus dekorasi tempelan cokelat atau kismis. Padahal dulu roti buaya sangat berat seperti batu dan polos begitu saja.
Filosofi Roti Buaya
Roti buaya di pernikahan Betawi zaman sekarang akan dibagi-bagikan kepada para tamu apabila acara pernikahan sudah selesai. Roti buaya ini biasanya dibagikan kepada para tamu undangan yang masih lajan. Dengan harapan yang menerimanya segera mendapat jodoh dan menikah.
Sebenarnya, tradisi ini mulai orang-orang Jakarta kenal pada saat bangsa Eropa masuk Indonesia. Kedatangan mereka membawa pengaruh terhadap pemikiran masyarakat asli Jakarta, seperti setiap pernikahan harus memiliki tanda untuk menguatkan kesakralannya.
Simbol pernikahan yang bangsa Eropa miliki pada saat itu adalah bunga. Merasa tidak ingin kalah dan tidak ingin meniru Eropa, orang Betawi berusaha untuk membuat simbol yang erat dalam adat pernikahannya. Pemilihan roti buaya karena filosofi yang terkandung di dalamnya.
Harga dan Proses Pembuatan Roti Buaya
Saat ini, roti buaya tidak mudah kita jumpai di toko-toko dengan sajian sejenis ini. Untuk itu, bagi pasangan yang akan menikah harus melakukan pemesanan terlebih dahulu kepada para pembuat roti.
Harga dari kue besar ini beragam, tergantung dengan ukuran yang mereka pesan. Misalnya dengan kisaran Rp 50.000 hingga ratusan ribu rupiah, sudah termasuk rasa roti, keranjang, dan asesoris pelengkapnya.
Bagi warga yang sudah terbiasa membuat roti, olahan ini tidak terlalu sulit untuk dibuat. Hanya berbahan dasar yakni :
- terigu,
- gula pasir,
- margarin,
- garam,
- ragi,
- susu bubuk,
- telur, dan
- bahan pewarna.
Keseluruhan bahan tersebut kita campur dan aduk hingga rata dan halus, kemudian kita bentuk menyerupai buaya. Setelah berrbentuk kemudian kita oven / panggang hingga matang.
Baca juga : Perkembangan Tari Topeng Betawi yang Tetap Ada hingga Kini
Demikian informasi berkaitan denganĀ Roti Buaya Wujud Kesetiaan yang Tetap Terjaga, semoga post ini mencerahkan kalian. Kami berharap post wisata budaya betawi ini kalian sebarluaskan supaya semakin banyak yang mendapat manfaat.
Referensi: Wisata Kebudayaan di Jakarta