Pembahasan kita kali ini yakni [permalink]Akhlak Kepada Allah Apa Sih Bentuknya?[/permalink]. Suatu hari, ibunda ‘Aisyah rhadhiyallahu’anha bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam : Wahai Rasulullah! Ibnu Jud’an, dahulu di zaman jahiliyah, adalah seorang yang senantiasa menyambung tali silaturahim dan memberi makan orang miskin, apakah itu semua bermanfaat baginya kelak di akhirat ?. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Hal itu tidak bermanfaat baginya karena dia tidak pernah sedikit pun mengucapkan, “Wahai Rabb-ku, ampunilah dosa-dosaku di hari kiamat kelak“. (HR. Muslim).
Akhlak Kepada Allah Apa Sih Bentuknya?
Hadits di atas menceritakan tentang Ibnu Jud’an, yaitu seseorang dari kaum jahiliyah yang terkenal suka membantu orang yang lemah dan suka menyambung silaturrahim. Namun Rasulullah mengabarkan bahwa kebaikannya kepada manusia itu tidak akan bermanfaat bagi dirinya kelak di hari akhir. Hal tersebut karena ia belum mengatakan, “Wahai Rabb-ku, ampunilah dosa-dosaku di hari kiamat kelak“.
Maksudnya ia belum beriman kepada Allah dan juga hari kebangkitan yang ia akan dihisab dan diberi pembalasan atas apa yang telah dilakukannya. Dan orang-orang yang mengingkari hari kebangkitan maka ia tergolong sebagai orang kafir. Dan orang kafir tidak akan Allah terima amalannya. Adapun orang kafir yang luhur akhlaknya di dunia, Allah memberikan balasan atas amal baiknya hanya di dunia saja, yaitu berupa kesehatan, harta yang melimpah dan keturunan yang banyak. Adapun di akhirat ia akan mendapatkan balasan dan kedudukan yang sama dengan orang-orang kafir lainnya.
Lalu sebenarnya apakah akhlak itu?
Bagaiamana bisa semua kebaikan yang dia lakukan kepada sesama manusia tidak memiliki arti dan tidak bermanfaat sama sekali baginya di hari kiamat kelak? Padahal Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda: “Kebajikan itu keluhuran akhlak” (HR. Muslim).
Untuk menjawab hal tersebut, marilah kita lihat perkataan Ibnu RajabAl Hanbali mengenai hadits di atas: Diantara makna al birr (kebajikan) adalah mengerjakan seluruh ketaatan, baik secara lahir maupun batin. (Makna seperti ini) tertuang dalam firman Allah Ta’ala: (artinya) :
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka ituloh orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al Baqarah : 177).
Dari penjelasan Ibnu Rajab di atas, dengan dalil ayat 177 surat Al Baqarah, kita dapat pahami bahwa kebaikan yang paling utama yaitu menjalankan apa yang Allah perintahkan kepada kita dalam wahyu yang diturunkan-Nya melalui Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam. Barulah setelah itu kita menjalankan akhlak kepada sesama makhluk.
Dasar Diterimanya Amal
Oleh karena itu, akhlak kepada Allah Ta’ala (berupa ketaatan) adalah dasar dari diterimanya segala amalan baik kepada sesama makhluk di dunia, seperti memberi harta yang dicintai kepada kerabat, anak, istri, anak-anak yatim, orang miskin, dan musafir, serta kebaikan-kebaikan lainnya yang disebutkan dalam ayat tadi. Jika sesuatu yang menjadi dasarnya tidak dipenuhi, maka bagaimana cabang-cabangnya bisa terpenuhi dengan sempurna ? Yang menjadi dasar adalah keimanan. Jika dasarnya tersebut sudah ada, maka amalan kebaikan yang kita lakukan dapat bermanfaat dan berbuah pahala.
Sebagaimana seseorang yang masuk kuliah. Jika status sebagai mahasiswa saja tidak dimiliki (karena tidak ikut seleksi untuk menjadi mahasiswa), bagaimana ia bisa mendapat nilai dan ijazah kuliahnya tersebut ? Marilah bersama-sama kita renungkan ! Karena sesunguhnya kesempurnaan akhlak mulia adalah beradab kepada Allah Ta’ala, Rabb semesta alam. Yaitu dengan mengetahui hak Rabb-nya dan bersegera memenuhi hak Rabb-nya dari perkara yang diwajibkan atasnya serta dari sunnah yang dimudahkan atasnya. Sehingga seorang hamba dapat mencapai derajat yang tinggi di hadapan Allah Ta’ala.
Demikian info serba serbi tentang akhlak kepada allah apa sih bentuknya? semoga bermanfaat.
Referensi :
- Parangeni Muhammad Lubis
- Serba Serbi Ilmu